Nona Teh dan Tuan Kopi
Kedua buku ini menjadi buku favorit pertama saya dengan konflik cerita mengenai cinta dan pasangan. Selepas baca kedua novelnya, satu kalimat yang keluar dari pikiran saya adalah, “Bacaan ini yang selama ini saya cari!” Kenapa bisa gitu? Karena, sebab-akibat atau aksi-reaksinya di cerita ini tuh diceritakan dengan masuk akal dan relate!
Jadi, ketika saya baca buku ini, lancar banget dan nggak mau tutup buku sebelum tamat. Ibarat ketemu temen ngobrol yang satu frekuensi sampai lupa udah ngobrol berjam-jam. Karena saya paling lemah kalau udah bahas tentang keluarga, jadinya di buku Arkais saya dibuat bener-bener banjir air mata tiap halamannya. Nggak seperti buku pertamanya, Parak, yang memang masih tahap pengenalan karakter Nona Teh dan Tuan Kopi, hanya ada di beberapa bagian aja saya butuh tisu.
Kalau isi cerita Parak itu isi ceritanya ibarat kumpulan puzzle yang mesti kita kenali terlebih dahulu sebelum dipasang. Di Arkais, kepingan-kepingan puzzle yang kita temukan secara kebetulan di buku Parak, satu per satu mulai disusun sampai kita bertemu di akhir cerita.
Bukan hanya menceritakan kisah si Nona Teh dan Tuan Kopi saja. Tapi, ada kisah dari orang tua mereka, khusunya cerita tentang Hartanti dan Hariawan yang nggak kalah menarik dan bikin patah hati.
Satu quote utama dalam dua novel ini yaitu, “Hakikat tertinggi dari mencintai tidak selamanya tentang memperjuangkan, melainkan juga untuk melepaskan.” — halaman 135 [Parak]
Sementara, best part bagi saya adalah segala yang keluar dari pikiran si Nona Teh. Ahahah, tapi beneran deh. Dia tuh role model banget. Salah satu kalimat yang aku suka ini:
“I’m not strong. I’m just trying to be one.” — halaman 67 [Parak]
“Feeling hurt is inevitable. Kita bisa merasa sakit karena banyak hal. Nggak cuma dengan nggak ketemu jodoh di dunia. Masyarakat terlalu meromantisasi jodoh, seolah-olah ketemu jodoh, nikah, dan segala macam itu adalah tujuan hidup sebenarnya dan kalau kita belum memenuhi itu, kita akan dianggap ‘gagal’ jadi manusia …
… bahagia itu sederhana dan nggak melulu harus berhubungan dengan cinta asmara atau pernikahan.”– halaman 255 [Arkais]